Tidak ada manusia yang hatinya tidak pernah terluka. Itu memang sudah sebuah kenyataan. Bahkan sampai patah hati. Tapi, jika kita teus membawa rasa luka itu, kita tidak akan pernah bahagia. Lalu, mengapa kita tidak mencoba memaafkan diri kita sendiri dan memaafkan mantan?
Menyalahkan orang 100% atas apa yang telah terjadi bukanlah sikap yang bijaksana.nbiasanya yang mengakhiri sebuah hubungan adalah campuran dari perbuatan, reaksi dan komunikasi yang salah dari kedua belah pihak. Menyimpan kepahitan akan masa lalu hanya bisa merampas kebahagiaan kita dan kita jadi kehilangan kesempatan untuk memasuki lembaran yang baru ketika lembaran yang lama sudah usai.
Tapi mengapa kita harus memaafkan orang yang telah menyakiti kita? Mungkin karena memaafkan bukan berarti kita pada akhirnya mengakui bahwa perbuatannya itu benar. Melainkan memaafkan itu adalah mengembalikan orang itu kepada Tuhan untuk menyikapinya.
Akhir dari suatu hubungan mungkin rasanya seperti suatu kematian. Jika kita mau bersabar dengan duka yang kita jalani, suatu saat kita akan kembali menemukan seseorang yang terbaik untuk kita. Semakin kuat kita menggenggam kemarahan kepada mantan, semakin sulit kita beranjak dari masa lalu, dan semakin mustahil bisa menciptakan masa depan yang baru.
Pengalaman adalah guru yang terbaik karena akan merubah kesedihan menjadi rasa syukur. Hidup adalah serangkaian pelajaran dan pengembangan diri. Apapun yang terjadi, jadika itu semua sebagai suatu kesempatan untuk berubah. Apapun yang pernah kita alami di masa lalu dan di masa kini pasti berguna untuk masa depan.
Begitulah adanya. Memaafkan mantan bukan demi kebaikannya. Tapi demi kebaikan diri kita sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar