Para
ilmuwan semakin yakin, detail paling halus dalam kosmos memang diliputi
kekaburan. Seolah ada tirai pembatas antara pengetahuan manusia dengan
hakikat semesta. Ilmu pengetahuan semakin terbukti tak sanggup menembus
dunia di balik batas itu.
Bukan apa-apa, memang begitulah cara alam memperlihatkan dirinya pada manusia …!
Dalam
konsep ilmu pengetahuan modern dewasa ini, alam semesta dengan segala
isinya tersusun dari materi dan energi. Materi (benda) tersusun pula
atas partikel-partikel halus yang lazim disebut atom. Sedangkan atom,
dapat pula kita bagi atas sebuah inti atom bersama sejumlah elektron
pada jarak yang relatif jauh.
Sebetulnya
istilah-istilah atom, proton, dan sebagainya, semua hanyalah “model”.
Artinya nama-nama tersebut dikaitkan dengan suatu gejala tertentu,
sedemikian rupa sehingga dengan model itu para ilmuwan akan lebih mudah
bekerja.
Sebab
itu “model” atom bisa bermacam-macam. Dalam sejarah fisika atom,
dikenal model-model atom mulai dari Dalton, Thomson, Rutherford, Niels
Bohr, dan sebagainya.
Jadi
pernahkah para ilmuwan melihat elektron? Gelombang? Cahaya? Tidak
pernah! Ia bahkan tidak akan pernah tahu apa persisnya semua itu.
Thomson
misalnya: sekalipun dikatakan sebagai penemu elektron, ia sebetulnya
tidak pernah tahu seperti apakah elektron itu. Yang dia lakukan
hanyalah membuat eksperimen. Lalu ia perhatikan gejala-gejala atau
sifat-sifat hasil eksperimennya. Dari sana disusunlah konsep … dan
ternyata konsepnya itu bisa menerangkan gejala tersebut. Hanya itu koq.
Lantas, apabila konsep tersebut ternyata gagal, yang salah bukan
gejalanya … tapi konsep itulah yang perlu disempurnakan!
Namun,
baiklah, mari kita coba-coba melakukan eksperimen khayal. Istilahnya
“Gedunken Experiment” alias eksperimen dalam pikiran. Maksud kita
hendak melihat elektron.
Okelah
kita anggap kita mempunyai semua peralatan yang dibutuhkan. Kita
perkirakan ada sebuah mikroskop elektron yang sangat luar biasa. Daya
uraiannya kita anggap akan sanggup menembus “kabut atomik”. Ditunjang
lagi dengan daya pembesaran mencapai 100 bilyun kali! Memang dengan
perbesaran begitu, secara teoritis dapat diramalkan elektron akan
terlihat oleh mata.
Akan
tetapi, apa yang terjadi? Ternyata tak semudah apa yang dibayangkan.
Masalahnya begini. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya kita bisa
melihat karena pertolongan cahaya visual (kasat mata). Cahaya ini
mempunyai panjang gelombang antara 3800 angstrom sampai 7500 angstrom;
dimana 1 angstrom = 10-8 cm.
Padahal
kita tahu elektron jauh lebih kecil dari itu. Diameternya sepertiga
milyar milimeter. Tentu akibatnya malah elektron tersebut akan
“tertutupi”. Ibarat mau melihat bola, lalu bola itu kita tutup dengan
sehelai kain hitam yang panjang. Mana mungkin akan terlihat!
Apa
akal? Terpaksa kita cari cahaya lain. Tapi panjang gelombangnya mesti
yang lebih pendek dari diameter (garis tengah) elektron. Kalau tidak …
sama saja bohong! Namun resikonya, kita terpaksa melihat bukan dengan
mata. Sebab mata hanya mampu bekerja pada rentang gelombang optis
(cahaya tampak).
Baiklah
kita gunakan saja alat detektor supercanggih, berfungsi laksana “mata”.
Ternyata kesulitan tetap saja tak teratasi. Kalau kita pakai sinar-X,
panjang gelombangnya masih sedikit besar ketimbang elektron. Yah …
akhirnya elektron tak akan kelihatan juga.
Terpaksa
kita ganti dengan sinar lain. Akhirnya satu-satunya pilihan cuma sinar
gamma. Sinar itu dipancarkan oleh radium hingga sering disebut sinar
radium. Sinar ini memiliki frekuensi yang sangat tinggi. Itu berarti
energinya pun sangat tinggi.
Namun,
apa yang terjadi sewaktu pas alat detektor kita corongkan ke lensa
supermikroskop? Bentuk apakah yang terlihat jauh di kedalaman sana?
Tidak!
Kita tak menemukan apa-apa! Lho … koq bisa? Bukankah tadi elektron
masih ada? Kenapa tiba-tiba bisa lenyap tanpa jejak begitu saja? Apa
yang telah terjadi? Ya … sewaktu sinar gamma datang menghampiri
elektron, ternyata elektron malah tidak sanggup mematulkan sinar itu
kembali ke mata detektor. Ia tak sanggup menahan hantaman sinar gamma
berenergi sangat tinggi itu. Elektron malah terhambur, terpental entah
ke mana. Kecepatan gerak elektron jadi luar biasa. Tentu saja …
detektor tak akan sanggup mencari “di mana dia”! sia … sia … putuslah
asa … kecewa! Tapi, apa mau dikata …!
BATAS PENGETAHUAN
Persisnya
elektron, tak berposisi sama sekali. Usaha untuk menemukan elektron
saja menendangnya ke luar lapangan pengamatan. Usaha menemukan
tempatnya, baik dilakukan secara eksperimen atau cuma dikhayalkan saja,
sama persis dengan memberinya kecepatan serta arah yang tidak dapat
diketahui.
Mustahil
bisa ditentukan kedudukannya dalam ruang-waktu. Dilematika yang
ditimbulkan oleh sebutir elektron pada indera manusia ini, langsung
ditangani oleh ahli fisika kuantum, Werner Heisenberg, pemenang hadiah
Nobel tahun 1932. Ia mengumumkan apa yang disebutnya asas
ketidakpastian.
Menurut
asas ini, mustahil mempertautkan pada indera manusia semua sifat
diskriptif sehari-hari dalam dunia “ghaib” subatomik. Bahkan sampai
waktu kapan pun!
Memang,
kini dikenal elektron punya deskriptif tertentu, seperti spin, massa,
muatan, dan sebagainya. Tapi semua itu tak lain hanyalah pendefinisian
sifat gejala alam, ketimbang betul-betul observasi langsung. Kita tak
mungkin memungut sebiji atom lalu kita lakukan percobaan, kita ukur,
dan sebagainya!
Percobaan
hanya mungkin dilakukan dalam jumlah yang banyak. Semisal satu gram
unsur yang terdiri dari berbilyun-bilyun atom. Akibatnya hasil
perhitungan hanyalah “kira-kira”. Pendekatan statistik, sebab ia hanya
merupakan kesimpulan rata-rata dari sejumlah besar angka-angka.
Jika
ilmu pengetahuan coba-coba melakukan eksperimen pada suatu satuan
dasar, seperti halnya menyelidiki satu atom, apalagi satu elektron.
Maka ia akan berhadapan dengan suatu kemustahilan yang maha mutlak!
Banyak
para ilmuwan merasa azas ketidakpastian Heisenberg adalah sifat hakiki
alam semesta. Mereka yakin, detail paling halus dalam kosmos sering
diliputi kekaburan. Ia tak kan pernah dapat diterangkan atau diatasi
oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tak kan sanggup mengenal
hakekat segala seseuatu.
Seolah
Heisenberg berkata, “Ada batas, di mana di luar batas itu kita mustahil
bisa mengukur proses alam secara tepat pada waktu yang bersamaan. Batas
itu bukan disebabkan keterbatasan alat-alat pengamatan kita. Bukan pula
akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan kita.
Tetapi … memang, begitulah cara alam “memperlihatkan” dirinya pada manusia …”
MAKHLUK GHAIB ADA TIDAK?
Dalam
zaman serba “wah” ini masih banyak orang yang tidak percaya pada adanya
makhluk-makhluk ghaib seumpama malaikat, iblis, jin, dan sebagainya.
Bahkan eksistensi Allah pun tak diakuinya …!
Kalau
ditanya pada mereka apa sebabnya? Mereka akan menjawab mana buktinya?
Seolah dengan pongah ia berkata, “sesuatu yang ada pasti ada buktinya”.
Tanpa ia sadari bahwa tak semua “yang ada” dapat dibuktikan
keberadaannya! Sebab memang ada batas –seperti kata Heisenberg juga.
Dan di luar batas itu, bersrimaharajalela keghaiban yang maha mutlak.
Tak
ada cara buat ilmu pengetahuan mengenal yang “ghaib”. Einstein sendiri
menyadari, setiap besaran-besaran fisik yang kita ukur senantiasa akan
tersandung di bawah kerelatifan.
Broglie
pun akhirnya melontarkan gagasan dualisme zarah-gelombang. Tiada cara
buat mengenal keghaiban, tiada cara mengukur yang hakekat, tiada cara
buat mengamat kemutlakan!
Apa
daya? Ya … betul … satu-satunya cara buat mengenal hakekat, buat
mengenal yang mutlak, buat mengenal alam ghaib … hanyalah terbukanya
hijab, tersingkapnya batas. Dan itu hanya mungkin jika Allah sendiri
yang menginginkannya.
Allah
sendiri yang akan memperkenalkan adanya malaikat, adanya makhluk ghaib,
alam ghaib, dan sebagainya itu. Tanpa tedeng aling-aling … satu-satunya
cara … ialah kita imani saja! Wajib kita imani … kita percayai, tanpa
sedikitpun menyelinap keraguan …!
Jangan
tanya bukti, sebab ia di luar wilayah bukti. Bukti hanya mungkin
diterapkan buat alam fisis, alam syahadah. Itu pun hanya terbatas,
dibatasi oleh alam itu sendiri …!
“Dia
Allah, yang mengetahui yang ghaib. Dia tidak akan memperlihatkan kepada
seorang pun hal yang ghaib itu. Kecuali pada utusan yang diridhai-Nya…”
(QS. 72: 26-27)
Maha Benar Allah dengan segala Firmannya!
0 komentar:
Posting Komentar