Sepotong Senja Untuk Mantanku

Di setiap waktuku : “masih ada doa yang mengalir untuk bahagia dan tawamu, selalu”

Sudah beberapa tahun bulan hari sejak peristiwa itu, namun ingatanku masih begitu kuat tentangmu. Masih tersulut tawa renyahmu, masih kuingat caramu mengungkapkan rasa, dan masih begitu lekat suaramu menggelitik gendang telingaku. Dulu, aku dan kamu sempat menjadi kita, kita yang saling menyatukan rasa. Sosokmu yang penuh tanya, memaksaku untuk terus mencari jawabnya. Inikah yang disebut cinta? Selalu butuh tanya dan jawaban.

Jarak dan waktu yang memisahkan dua orang yang saling mencintai, menjauhkan dua insan yang masih saling berbagi rindu. Jarak memang tak selalu mampu kita tembusi. Sehingga kita berkencan dengan waktu, dan orang-orang menatapnya penuh tanya. Aku dan kamu menelan rindu diam-diam. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa, ketika jarak memang mempunyai hak untuk menjauhkan.

Aku sempat jatuh cinta dengan banyak hal yang kamu perlihatkan padaku. Aku terperangkap hening dalam angan yang mengurai segala tentangmu. Absurd memang, tapi begitu nyata kurasa. Tanpa kata, tanpa praduga, masih ada bahagia yang menyentuh lemah di batas lelahku. Apalagi yang bisa kureka-reka kala itu selain bahagia bersamamu? Menikmati setiap inci jejak rindu yang hadir. Begitu sederhana, tapi bermakna.


Semua mengalir dengan begitu indah.

Percakapan waktu itu. Percakapan yang mengalir lewat mata berkaca, kali pertama aku mendengar suara tangismu, begitu lembut, begitu tulus. Aku masih ingat usaha kerasmu untuk menguatkan langkah kita, agar tak ada yang merasa tersakiti di tengah jalan. Seandainya tak ada jarak, mungkin kita bisa saling menguatkan. Tapi, apalah daya yang kaupunya dan kupunya? Kita hanyalah dua manusia angkuh yang nekat melawan arus perbedaan. Aku dan kamu hanya ditakdirkan untuk berkenalan bukan untuk menjadi pasangan kekasih Tuhan.

Rindumu dan rinduku tak lagi saling menyapa. Aku dan kamu takkan mungkin bisa seperti dulu, semua berbeda, semua berubah. Aku dan kamu tak mungkin lagi menjadi kita, karena disana mungkin kau telah bersama pilihanmu.

Kutahu kau begitu mencintai senja dan kilau lembutnya. Kutahu kau sempat memimpikan bisa melihat senja bersama denganku, bersama dengan cinta kita.

Maaf, karena aku tak mampu memberi keindahan dalam hidupmu. Maaf, karena aku tak bisa menggambarkan senja di bola matamu. Maaf, karena kubiarkan kamu memasuki hidupku. Harusnya kuakhiri segalanya, ketika kubiarkan kau masuki hidupku. Jadi, takkan pernah ada kita dalam dongeng sebelum tidur ataupun dalam sejarah yang tak dibukukan.

Biarkan saja angin bersenandung sendiri
Biarkan saja wajahmu menggantung dalam sunyi
Biarkan saja tawa renyahmu menghantui hari
Itulah tanda
bahwa aku membiarkan diriku
untuk tetap merindukanmu
Hingga sekarang, masih ada doa yang mengaliri malam-malammu
Masih ada doa yang menghakimi kebahagiaanmu
Masih terucap lirih doaku, untuk menuntunmu pulang
kesini…
pulanglah…
aku merindukanmu



Untuk  pria yang sempat menjadi senja dan malamku, pria yang menjadi teman begadangku, si mata sipit yang pernah menjelma menjadi tangis dan tawaku.

2 komentar:

Muhammad Said Abdullah mengatakan...

titikan banyumataku

Nida Aulia mengatakan...

hemm, bujur jua kh kk nih -.-

Posting Komentar


up